Minggu, 08 November 2009

Artikel

MA, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KPK

Baik dalam doktrin maupun menurut hukum, kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan badan peradilan. Di Indonesia, badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah MA, Mahkamah Kontitusi dan pengadilan-pengadilan tingkat lebih rendah yang dibawah MA. Pengertian serupa dengan cakupan berbeda-beda, menjadi pengertian umum kekuasaan kehakiman pada setiap negara universal.

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, hanya badan peradilan tertinggi (MA dan MK) yang digolongkan sebagai alat perlengkapan negara (bertindak dan memutus atas nama negara). Sebagai konsekuensi, semua badan peradilan adalah badan yang bersifat dan diatur secara ketatanegaraan, dan logikanya badan peradilan (kekuasaan kehakiman) dalam negara hukum demokratis, secara substantif harus bekerja secara independen tanpa campur tangan dari cabang-cabang suprastruktur/ infrastruktur, maupun dari pressure groups / interest groups.

Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari campur tangan kekuasaan lain. Kalaupun diciptakan hubungan, maka hubungan itu adalah hubungan prosedural dalam lingkup yang bersifat ketatanegaraan yang tidak menyentuh penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Untuk itu seharusnya diciptakan pula suatu penegasan bahkan jaminan dan perlindungan kemerdekaan atau kebebasan kekuasaan kehakiman, mengapa demikian? Karena, pada kenyataannya kekuasaan kehakiman tidak sekuat bahkan lemah di banding cabang-cabang kekuasaan lain.

Di era keterbukaan sekarang ini, kebutuhan melindungi pihak-pihak, terdakwa, saksi menjadi suatu yang penting, dan pemberitaan dalam media cenderung menimbulkan konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan hakim, bahkan walaupun dinyatakan tidak bersalah tidak cukup untuk meniadakan kerugian pihak-pihak akibat diskusi publik atas kasus yang bersangkutan, oleh karena itu seharusnya, baik atas dasar berbagai alasan, untuk menghindari ancaman terhadap kebebasan hakim, maka menyiarkan suatu perkara baik melalui radio atau televisi, mengambil film, dan merekam untuk publikasi (selama persidangan suatu perkara sedang berlangsung) merupakan tindakan yang melanggar dari sudut pandang etik.

Sungguhpun negara dalam keadaan darurat, bahkan dalam keadaan perang, kekuasaan kehakiman tidak selayaknya dijalankan secara kedaruratan, kekuasaan kehakiman tetap harus dijalankan sesuai tatacara yang berlaku. Segala bentuk intervensi seperti menetapkan Perpu (yang mengatur kekuasaan kehakiman), merupakan suatu bentuk intervensi yang ironis. Jika toh harus diperlukan strategi teknis ‘chek and balance’, suatu “kerja mandiri” tidak harus sebagai lembaga negara apalagi diartikan sebagai alat kelengkapan negara, jabatan tersebut bisa lahir secara atribut (tidak selalu UUD) atau melalui delegasi wewenang. Tentang kasus yang terjadi dalam lingkungan KPK misalnya, intervensi terhadap institusi peradilan (yang dikemas dengan pola tahapan-tahapan prosedural pra-ajudiaksi seperti penggeledahan, penyadapan, dan lain-lain, seolah hanya menunjukkan adanya suatu justifikasi yang berlindung dibalik prinsip legalitas. Namun hal ini sangat ironis pula jika mengingat bahwa extra ordinary power yang dimiliki KPK yang disiapkan dapat bertindak sebagai triger mechanism, harus berhadapan dengan institusi penegak hukum (POLRI yang dalam evaluasi publik sudah memiliki nilai rendah atas tingkat kepercayaan), dalam hal ini mungkinkah faktor penyebabnya adalah adanya ‘norma legislasi yang kontradiktif’? lalu bagaimana dengan adanya “menjamurnya korupsi kelembagaan yang sudah menjadi sebuah perspektif? Korupsi sudah menyebar merata di kalangan institusi pemerintahan, kenegaraan dan swasta, sementara langkah KPK hanya memproduksi kontroversi antara Eksekutif dan Yudikatif, oleh karena itu pasti ada yang SALAH!

Reformasi pada dasarnya adalah suatu langkah penyesuaian terhadap tatanan internasional, dan friksi politis adalah suatu bentuk yang wajar, akan tetapi suatu solusi yang suam-suam kuku, inklinasinya hanya mengarah pada kontroversi yang tiada berkesudahan, tidak menemukan titik temu. Oleh karena itu seharusnya tidak perlu maju mundur untuk membuat penegasan apakah dalam mekanisme tryas politica yang sedang berlangsung ini diarahkan pada “pemisahan kekuasaan? Atau pada pembagian kekuasaan!” tidak perlu kuatir ada gejolak publik, karena perspektif sosial sudah menunjukkan fragmentasinya dan bentuk masyarakat seperti ini akan sulit membuat “suatu satu kesimpulan”. Meramping membentuk power tunggal? Tidak SALAH karena isu tidak berjalan di atas evaluasi “salah dan benar” akan tetapi berjalan di atas “menghendaki yang demikian atau tidak menghendaki yang demikian”, rasionalitas atas kesemuanya ini bahwa, tidak perlu dipungkiri jika apapun yang perlu di selesaikan oleh sistem politik, pada hakekatnya bukan suatu penyelesaian untuk isu sosial. Memicu evaluasi publik bahkan memobilitas massa lebih nampak sebagai teknik yang kekanak-kanakkan, reformasi sudah berhasil memberi masyarakat dalam bentuk kebebasannya, jika terdapat persoalan yang menekan, maka “putusan hebat yang tidak terduga merupakan bagian dari ‘konsekuensinya’ dan ide-ide yang menimbulkan tabrakan, justru akan mematikan prinsip-prinsip “independence of judicary”, jika hal ini merupakan suatu kesengajaan, segera setelah prioritas persoalan ditentukan, langkah berikutnya otomatis akan mengikuti.

Jika Orla dan Orba sudah menunjukkan sikap non-transparansi sehingga MA lepas dari posisinya sebagai lembaga a free and independency judicary, tidak seharusnya ada ketakutan pengulangan sejarah, karena situasi dan persoalan yang berlangsung sangat terkait dengan iklim baru yang tidak sama dengan saat kedua orde tersebut bekerja. Dengan kondisi seperti sekarang ini, dimana persoalan yang sesungguhnya bersifat sangat kompleksif tidak harus selalu dibenturkan dengan prinsip-prinsip klise demokrasi, dan siapapun yang memahami ‘demokrasi dengan cara meminta partisipasi intensif dari semua pihak’ (partisipasi disini maksudnya adalah ikut mengambil bagian), maka kontroversi akan semakin tidak terarah bahkan akan memanifestasikan diri sebagai suatu kondisi yang lembam yang dipenuhi oleh prinsip-prinsip frustasi.

Selanjutnya yang harus disadari oleh semua pihak, bahwa semua masalah pengendalian pasti terkait dengan ruang lingkup administrasi, oleh karena itu untuk menjangkau kemampuannya, administrasi akan mempertahankan sifat otonomiknya berikut powernya, dan “tidak mau berkonfrontasi dengan batas-batas kemampuannya” adalah perspektif logisnya! Jika KPK ternyata melecehkan lembaga Yudikatif, berarti relasi antara Lembaga Negara mengalami polemik yang substansial dan opini tentang kekuasaan otoriter tidak pasti menjadi isu yang pesimissif!!! Salam damai@@