Minggu, 08 November 2009

Artikel

MA, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KPK

Baik dalam doktrin maupun menurut hukum, kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan badan peradilan. Di Indonesia, badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah MA, Mahkamah Kontitusi dan pengadilan-pengadilan tingkat lebih rendah yang dibawah MA. Pengertian serupa dengan cakupan berbeda-beda, menjadi pengertian umum kekuasaan kehakiman pada setiap negara universal.

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, hanya badan peradilan tertinggi (MA dan MK) yang digolongkan sebagai alat perlengkapan negara (bertindak dan memutus atas nama negara). Sebagai konsekuensi, semua badan peradilan adalah badan yang bersifat dan diatur secara ketatanegaraan, dan logikanya badan peradilan (kekuasaan kehakiman) dalam negara hukum demokratis, secara substantif harus bekerja secara independen tanpa campur tangan dari cabang-cabang suprastruktur/ infrastruktur, maupun dari pressure groups / interest groups.

Kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka lepas dari campur tangan kekuasaan lain. Kalaupun diciptakan hubungan, maka hubungan itu adalah hubungan prosedural dalam lingkup yang bersifat ketatanegaraan yang tidak menyentuh penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Untuk itu seharusnya diciptakan pula suatu penegasan bahkan jaminan dan perlindungan kemerdekaan atau kebebasan kekuasaan kehakiman, mengapa demikian? Karena, pada kenyataannya kekuasaan kehakiman tidak sekuat bahkan lemah di banding cabang-cabang kekuasaan lain.

Di era keterbukaan sekarang ini, kebutuhan melindungi pihak-pihak, terdakwa, saksi menjadi suatu yang penting, dan pemberitaan dalam media cenderung menimbulkan konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan hakim, bahkan walaupun dinyatakan tidak bersalah tidak cukup untuk meniadakan kerugian pihak-pihak akibat diskusi publik atas kasus yang bersangkutan, oleh karena itu seharusnya, baik atas dasar berbagai alasan, untuk menghindari ancaman terhadap kebebasan hakim, maka menyiarkan suatu perkara baik melalui radio atau televisi, mengambil film, dan merekam untuk publikasi (selama persidangan suatu perkara sedang berlangsung) merupakan tindakan yang melanggar dari sudut pandang etik.

Sungguhpun negara dalam keadaan darurat, bahkan dalam keadaan perang, kekuasaan kehakiman tidak selayaknya dijalankan secara kedaruratan, kekuasaan kehakiman tetap harus dijalankan sesuai tatacara yang berlaku. Segala bentuk intervensi seperti menetapkan Perpu (yang mengatur kekuasaan kehakiman), merupakan suatu bentuk intervensi yang ironis. Jika toh harus diperlukan strategi teknis ‘chek and balance’, suatu “kerja mandiri” tidak harus sebagai lembaga negara apalagi diartikan sebagai alat kelengkapan negara, jabatan tersebut bisa lahir secara atribut (tidak selalu UUD) atau melalui delegasi wewenang. Tentang kasus yang terjadi dalam lingkungan KPK misalnya, intervensi terhadap institusi peradilan (yang dikemas dengan pola tahapan-tahapan prosedural pra-ajudiaksi seperti penggeledahan, penyadapan, dan lain-lain, seolah hanya menunjukkan adanya suatu justifikasi yang berlindung dibalik prinsip legalitas. Namun hal ini sangat ironis pula jika mengingat bahwa extra ordinary power yang dimiliki KPK yang disiapkan dapat bertindak sebagai triger mechanism, harus berhadapan dengan institusi penegak hukum (POLRI yang dalam evaluasi publik sudah memiliki nilai rendah atas tingkat kepercayaan), dalam hal ini mungkinkah faktor penyebabnya adalah adanya ‘norma legislasi yang kontradiktif’? lalu bagaimana dengan adanya “menjamurnya korupsi kelembagaan yang sudah menjadi sebuah perspektif? Korupsi sudah menyebar merata di kalangan institusi pemerintahan, kenegaraan dan swasta, sementara langkah KPK hanya memproduksi kontroversi antara Eksekutif dan Yudikatif, oleh karena itu pasti ada yang SALAH!

Reformasi pada dasarnya adalah suatu langkah penyesuaian terhadap tatanan internasional, dan friksi politis adalah suatu bentuk yang wajar, akan tetapi suatu solusi yang suam-suam kuku, inklinasinya hanya mengarah pada kontroversi yang tiada berkesudahan, tidak menemukan titik temu. Oleh karena itu seharusnya tidak perlu maju mundur untuk membuat penegasan apakah dalam mekanisme tryas politica yang sedang berlangsung ini diarahkan pada “pemisahan kekuasaan? Atau pada pembagian kekuasaan!” tidak perlu kuatir ada gejolak publik, karena perspektif sosial sudah menunjukkan fragmentasinya dan bentuk masyarakat seperti ini akan sulit membuat “suatu satu kesimpulan”. Meramping membentuk power tunggal? Tidak SALAH karena isu tidak berjalan di atas evaluasi “salah dan benar” akan tetapi berjalan di atas “menghendaki yang demikian atau tidak menghendaki yang demikian”, rasionalitas atas kesemuanya ini bahwa, tidak perlu dipungkiri jika apapun yang perlu di selesaikan oleh sistem politik, pada hakekatnya bukan suatu penyelesaian untuk isu sosial. Memicu evaluasi publik bahkan memobilitas massa lebih nampak sebagai teknik yang kekanak-kanakkan, reformasi sudah berhasil memberi masyarakat dalam bentuk kebebasannya, jika terdapat persoalan yang menekan, maka “putusan hebat yang tidak terduga merupakan bagian dari ‘konsekuensinya’ dan ide-ide yang menimbulkan tabrakan, justru akan mematikan prinsip-prinsip “independence of judicary”, jika hal ini merupakan suatu kesengajaan, segera setelah prioritas persoalan ditentukan, langkah berikutnya otomatis akan mengikuti.

Jika Orla dan Orba sudah menunjukkan sikap non-transparansi sehingga MA lepas dari posisinya sebagai lembaga a free and independency judicary, tidak seharusnya ada ketakutan pengulangan sejarah, karena situasi dan persoalan yang berlangsung sangat terkait dengan iklim baru yang tidak sama dengan saat kedua orde tersebut bekerja. Dengan kondisi seperti sekarang ini, dimana persoalan yang sesungguhnya bersifat sangat kompleksif tidak harus selalu dibenturkan dengan prinsip-prinsip klise demokrasi, dan siapapun yang memahami ‘demokrasi dengan cara meminta partisipasi intensif dari semua pihak’ (partisipasi disini maksudnya adalah ikut mengambil bagian), maka kontroversi akan semakin tidak terarah bahkan akan memanifestasikan diri sebagai suatu kondisi yang lembam yang dipenuhi oleh prinsip-prinsip frustasi.

Selanjutnya yang harus disadari oleh semua pihak, bahwa semua masalah pengendalian pasti terkait dengan ruang lingkup administrasi, oleh karena itu untuk menjangkau kemampuannya, administrasi akan mempertahankan sifat otonomiknya berikut powernya, dan “tidak mau berkonfrontasi dengan batas-batas kemampuannya” adalah perspektif logisnya! Jika KPK ternyata melecehkan lembaga Yudikatif, berarti relasi antara Lembaga Negara mengalami polemik yang substansial dan opini tentang kekuasaan otoriter tidak pasti menjadi isu yang pesimissif!!! Salam damai@@

Sabtu, 23 Mei 2009

Makalah Hukum Perdata ( Hak atas Tanah )

PEMBAHASAN


Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan kedudukan yang sangat penting bagi tanah dan benda-benda yang melekat pada tanah. Sebagaimana tercantum dalam rumusan Pasal 520 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : “Pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainnya yang tidak terpelihara dan tiada pemiliknya, sepertipun kebendaan mereka yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisannya telah ditinggalkan, adalah milik negara”. Dapat diketahui bahwa tanah memiliki sifat yang khusus bagi negara. Dari rumusan tesebut, jelas bahwa pada prinsipnya semua tanah harus ada pemiliknya. Selanjutnya mengenai Pasal 519 KUHPerdt yang menyatakan bahwa: “Ada kebendaan yang bukan milik siapa pun juga; kebendaan lainnya adalah milik negara, milik badan kesatuan atau milik seseorang”. Hal tersebut dapat memberikan keterangan bahwa khusus untuk pekarangan dan benda tidak bergerak, selain yang dimiliki oleh orang perorangan secara bebas, baik dalam kepemilikannya sendiri secara individu, maupun dalam bentuk milik bersama yang bebas, dan milik suatu badan kesatuan, yang dalam hal ini tewujud dalam bentuk milik bersama yang terikat, maka seluruh pekarangan (tanah) dan benda-benda tidak bergerak lainnya yang ada di Indonesia (Hindia Belanda ) waktu itu adalah milik negara, yang pada waktu itu diwakili oleh Pemerintah Hindia Belanda. Benda yang bebas (res nullius) hanya diakui dan ada untuk benda-benda bergerak saja.
Namun mengenai berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai kebendaan pada umumnya dalam buku II KUHPerdt, telah dinyatakan tidak berlaku dengan telah diundangkan dan diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sebagaimana telah dicantumkan pada UUPA yang mutuskan dengan mencabut:
1. “Agrarische Wet”(Staatblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 “Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie”(Staatblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu.
2. a. “Domeinverklaring”tersebut dalam pasal 1 “Agrarische Besluit”(Staatblad 1870 No. 118);
b. “algemene Domeinverklaring”tersebut dalam Staatblad 1875 No. 119A;
c. “Domeinverklaring untuk Sumatera”tersebut dalam pasal 1 dari Staatblad 1874 No. 94f;
d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Manado”tersebut dalam pasal 1 dari Staatblad 1877 No. 55;
e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo” tersebut dalam pasal 1 dari Staatblad 1888 No. 58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatblad 1872 No. 117 ) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengani bumi, air serta kekayaan alam yang terkadung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Undang-undang Pokok Agraria mencabut seluruh ketentuan mengenai hukum agraria, yang dalam hal ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi yang berlaku dan dikeluarkan selama masa penjajahan Hindia Belanda. Bahkan dengan diundangkannya dan diberlakukannya UU No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, praktis ketentuan mengenai hipotek yang diatur dalam buku II KUHPertd, sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah menjadi tidak berlaku lagi.
Namun, masih tampak jelas bahwa dalam hal ini, UUPA tidak secara detail menyatakan ketentuan mana saja dari buku II KUHPerdt yang telah dihapuskan dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria tersebut. Maka beberapa ahli hukum menganggap perlunya untuk mengelompokkan secara rinci mengenai pasal-pasal mana saja yang masih berlaku penuh, yang sudah tidak berlaku dan pasal-pasal yang masih berlaku tapi tidak penuh. Dalam hal ini, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam hukum Perdata: Hukum Benda menyatakan bahwa Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi ialah :
Pasal – pasal tentang benda tidak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah;
Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tidak bergerak, tak pernah berlaku;
Pasal-pasal tentang Kerja Rodi, Pasal 673 Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
Pasal-pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, pasal 625 sampai Pasal 672 Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid), Pasal 674 sampai Pasal 710 KUHPerdt;
Pasal-pasal tentang hak Opstal, pasal 711 sampai Pasal 719 KUHPerdt;
Pasal-pasal tentang hak erfpacht, pasal 720 sampai Pasal 736 KUHPerdt;
Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, Pasal 737 sampai Pasal 755 KUHPerdt.

Dengan demikian berarti, berlakunya Undang-undang Pokok Agraria megakibatkan atau menyebabkan tidak berlaku lagi ketentuan mengenai:
Benda tidak bergerak sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
kedudukan berkuasa atas tanah
Hak milik atas tanah
Hak milik pekarangan yang berdampingan, bertetanggaan
Kerja Rodi
Hak Pengabdian pekarangan
Hak Orpstal
Erfpacht
Bunga Tanah dan Bunga Sepersepuluh
Hak Pakai sepanjang mengenai tanah dan benda –benda yang berkaitan dengan tanah
Hak mendiami
Perlekatan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik, sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
Penyerahan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik, sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah; dan dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan maka menjadi tidak berlaku lagi ketentuan mengenai:
Hipotik sepanjang mengenai tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah

Dari pembahasan yang telah dipaparkan tersebut, Hak guna Usaha menjadi kajian khusus dalam makalah ini yang kiranya perlu untuk dibuat suatu perbandingan antara Hak Usaha dalam KUHPerdt dengan Hak Guna Usaha dalam UUPA 1960.

Pengertian
Salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria adalah Hak Guna Usaha, yang pengertiannya dijabarkan dalam pasal 28 Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi, “(1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.(2) Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.(3) Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Dari definisi atau pengertian yang diberikan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kagiatan usahanya di Indonesia. Sedangkan dalam pasal 720 KUHPerdt yang berbunyi, “Hak Usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan. Perbuatan perdata yang melahirkannya harus diumumkan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620”. Dari definisi kedua tersebut, tidak ada pembatasan ruang tertentu yaitu digunakan dalam bidang apa saja yang diberikan untuk si pengusaha dalam mengusahakan tanah, dan tanah yang dimaksud juga bukanlah tanah yang dikuasai oleh negara melainkan tanah milik orang perorangan, serta tidak ada pembatasan hak guna usaha atas pemberian luas tanah.

Pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Usaha
Pada pasal 30 dan pasal 31 UUPA mengatur mengenai pihak yang dapat menjadi pemegang HGU yaitu pasal 30 yang berbunyi “(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah : a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”, dan pasal 31 berbunyi “Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah.
Dari rumusan pasal 30 UUPA tersebut dapat diketahui bahwa undang-undang memperluas subyek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah. Dalam hal Hak Guna Usaha, selain orang perorangan warga negara Indonesia tunggal, badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga dimungkinkan untuk menjadi pemegang Hak Guna Usaha. Mengenai badan hukum Indonesia ini, perlu diperhatikan bahwa untuk menjadi badan hukum Indonesia menurut pasal 30 UUPA harus memenuhi kedua syarat tersebut. Sedangkan dalam KUHPerdt, tidak disebutkan secara khusus mengenai syarat untuk menjadi pemegang hak guna usaha sebagaimana pada pasal 720 KUHPerdt yang menyebutkan bahwa Si pengusaha dapat menikmati segala hak yang terkandung dalam tanah yang diusahakannya. Jadi, pada saat belum berlakunya UUPA 1960, subyek hukum yang tidak berkedudukan di Indonesiapun dapat mengusahakan tanah yang ada di Indonesia, sebab dalam buku II KUHPerdt tidak dimuat ketentuan mengenai syarat – syarat sebagai pemegang hak guna usaha di Indonesia.


Jangka Waktu Hak Guna Usaha
Jangka waktu pembegrian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 29 UUPA yang berbunyi, “(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun; (2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun; (3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun”. Dari bunyi pasal 29 UUPA tersebut dapat dipahami bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa Hak Guna Usaha tesebut, setelah berakhirnya jangka waktu 25 tahun hingga 35 tahun tersebut, masih dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun berikutnya. Sedangkan pada ketentuan – ketentuan yang ada pada buku II KUHPerdt tidak ada ketentuan yang membatasi pengusahaan atas tanah milik subyek lain. Sehingga dalam pengusahaannya dapat berjalan lama sesuai perjanjian awal dengan si pemilik tanah, biasanya sampai 75 tahun masa hak usahanya.

Pemberian dan Pendaftaran Hak Guna Usaha
Sebagaimana hak – hak atas tanah lainnya, Hak Guna Usaha juga harus didaftarkan, untuk itu ketentuan Pasal 32 Undang-undang Pokok Agraria menyatakan “(1) Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19; (2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hal itu hapus karena jangka waktunya berakhir”. Mengenai pendaftaran tesebut dalam pasal 19 UUPA adalah harus melakukan beberapa hal yang meliputi;
pengukuran, perpetakan dan pembukuan tanah
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
Hal tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dan pendaftaran tanah itu diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria, yang mana mengenai biaya-biaya pendaftarannya diatur dalam peraturan pemerintah. Sama halnya dengan ketentuan dalam KUH Perdata tentang Hak Usaha yaitu sebagiamana dicantumkan pada pasal 720 KUHPerdt yang menyatakan bahwa perbuatan perdata yang melahirkan suatu hak usaha harus diumumkan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620. Pasal 620 KUHPerdt berbunyi “Dengan mengindahkan ketentuan – ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lain, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan itu berada, dan dengan membukukannya dalam register. Bersama – sama dengan pemindahan tersebut di atas, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpanan hipotik, sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan otentik dari akta atau keputusan itu, agar penyimpanan mencatat di dalamnya, hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan”. Dari isi pasal 620 KUHPerdt tersebut bila dibandingkan dengan UUPA yang berlaku saat ini pebedaan terletak pada langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan pendaftaran.

Hapusnya Hak Guna Usaha
Mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 34 UUPA yang menyatakan “Hak Guna Usaha hapus karena : a. Jangka waktunya berakhir; b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. Dicabut untuk kepentingan umum; e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)”. Sedangkan pada Hak Usaha KUH Perdata, hapusnya hak usaha adalah sebagaimana telah ditentukan pada pasal 718 dan 719 KUH Perdata yaitu;
karena percampuran
karena musnahnya pekarangan
karena kadaluwarsa dengan tenggang waktu tiga puluh tahun lamanya
setelah lewatnya waktu yang diperjanjikan atau ditentukan, tatkala hak numpang dilahirkan.
Hal ini sebagaimana pasal 718 KUHPerdt yang mana tidak jauh berbeda dengan ketentuan pasal 34 UUPA tersebut. Sebab dalam KUHPerdt tidak dimuat ketentuan mengenai hapusnya hak guna usaha yang dikarenakan tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak guna usaha di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 30 ayat (2) UUPA 1960.










KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai perbedaan antara buku II KUH Perdata khususnya dalam makalah ini tentang Hak Guna Usaha dengan ketentuan – ketentuan Hak Guna Usaha dalam UUPA 1960 antara lain :
- Hak Usaha dalam KUH Perdata tidak memberikan batasan bagi subyek hukum atas hak guna usaha sedang dalam UUPA dimuat ketentuan yang tegas mengenai subyek hukum yang dapat mempunyai hak guna usaha.
- Dalam pemberian hak usaha atas tanah pada KUH Perdata tidak di berikan batasan dalam pengusahaan atas tanah tersebut, namun dalam UUPA telah diberikan batasan waktu dan luas dalam mengusahakan suatu tanah.
- Dalam UUPA, hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara sedangkan dalam buku II KUH Perdata tanah yang dimaksud tersebut merupakan tanah yang dikuasai oleh orang perorangan.

Demikian beberapa perbedaan yang dapat disimpulkan dari pembahasan yang telah dipaparkan tersebut. Dan dapat dikatakan bahwa perbedaan tersebut telah memberikan suatu kejelasan mengani tidak berlakunya lagi buku II KUH Perdata sepanjang mengani bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung didalamnya yang kemudian telah diganti dengan Undang-undang Pokok Agraria 1960, yang mana ketentuan yang terkadung didalamnya sesuai dengan dasar hukum yang berlaku di Indonesia saat ini dan sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.

Makalah Nikah Sirri

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan marupakan hal yang sakral dalam kehidupan kita sebagai manusia yang memang diciptakan untuk mendapatkan pasangan hidup saat kita siap dan menginginkannya. Sebagaimana telah di jelaskan dalam pasal 1 UU No.1/1974 tentang perkawinan, bahwa ‘perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dan diatur pula mengenai sahnya perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Serta ketentuan dalam suatu perkawinan untuk pentingnya dilakukan pencatatan sebagaimana bunyi ayat 2 bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan memang sangat perlu dilakukan dengan tujuan sebagaimana tertera pada nomor 4 huruf b Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa “Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Pada penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya pencatatan tersebut bertujuan untuk terlaksananya tertib administrasi supaya tidak terjadi ketidakjelasan status dalam suatu perkawinan dan perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum bila suatu waktu terjadi sengketa.
Namun fakta yang sedang terjadi saat ini adalah ketidakpatuhan yang dilakukan beberapa masyarakat dalam melakukan pernikahan atau perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah ditentukan dalam UU No. 1/1974, seperti nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak taat hukum.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan mengenai Pernikahan Siri yang dilakukan oeh beberapa masyarakat di Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang hendak dijadikan pembahasan, antara lain;
Apa yang dimaksud Pernikahan Siri?
Bagaimana Dampak dari Pernikahan Siri?
Faktor apa yang menyebabkan seseorang menikah siri?
Bagaimana pernikahan siri di mata hukum Indonesia ?
Bagaimana solusi yang dapat dicapai jika pernikahan siri telah terjadi?

1.3. Maksud dan Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini, ada beberapa hal yang menjadi maksud dan tujuan yaitu untuk dapat mengetahui beberapa hal sebagaimana yang telah dimuat dalam rumusan masalah serta dengan maksud untuk memenuhi tugas makalah materi hukum perdata semester 3.


















PEMBAHASAN

Pengertian

Nikah siri atau juga disebut dengan nikah bawah tangan ini cukup banyak diperbincangkan sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai nikah siri. Pendapat pertama yaitu nikah siri adalah nikah sembunyi-sembunyi, padahal menurut ajaran agama Islam, Rasulullah memerintahkan “awlim walau bi syatin” (umumkanlah pernikahanmu walau kau hanya memotong seekor anak domba kecil), menikah siri adalah menikah yang tidak dicatat di KUA, padahal dalam ajaran Islam menaati Allah, Rasul dan Pemerintah adalah suatu kewajiban. Pendapat kedua, nikah siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari ( psikiater & Ulama ) berpendapat bahwa “Telah terjadi upaya mengakali pernikahan dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia”,ia menilai pernikahan siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih, sehingga menurutnya pernikahan siri ini tidak sah.
Dari tiga pendapat tentang nikah siri tersebut maka dapat didefinisikan bahwa nikah siri saat ini adalah nikah yang dalam prakteknya tidak dilaksanakan sebagaimana diajarkan dalam agama Islam yang mana harus turut mematuhi peraturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan oleh pemerintah yaitu setelah menikah secara agama atau adat harus pula dilakukan pencatatan di catatan sipil atau KUA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 (2) dan sebagaimana disinggung dalam Kompilasi Hukum Islam ( Instruksi Presiden R.I No. 1 tahun 1991) pasal 17 (1), sehingga saat ini nikah siri menjadi suatu pernikahan yang tidak sah secara agama maupun hukum di Indonesia. Alasan dari definisi tersebut adalah suatu pernikahan seperti nikah siri ini akan tetap sah kedudukannya bila dilaksanakan sesuai rukun dan syarat sahnya, sebab lain halnya jika sampai saat ini hukum yang berlaku di Indonesia hanya hukum Islam yang ada, maka bagi siapapun yang menikah siri tidak akan mengalami kesulitan, karena tidak perlu diadakan pencatatan. Berhubung saat ini telah berlangsung ketentuan pemerintah yang juga telah disepakati oleh masyarakatnya, maka ketentuan tersebut wajib ditaati oleh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maju dalam suatu negara hukum.

Dampak Perkawinan Siri
Di sini kita membahas hal yang terjadi sebagai akibat dari praktek nikah siri sebagaimana yang dimaksud dalam masyarakat.

a. Dampak bagi pihak istri / wanita
- tidak diakui sebagai istri yang sah
- tidak berhak atas nafkah dari suami
- tidak berhak mendapat warisan suami jika telah meninggal
- tidak berhak atas harta gono-dini bila terjadi perceraian, karena secara hukum positif, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Dalam hal ini pihak wanita memang sangat banyak menerima kerugian bila melakukan perkawinan siri. Belum lagi nantinya wanita tersebut akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat, karena pandangan umum masyarakat menilai bahwa ia telah tinggal dengan laki-laki diluar nikah atau sebagai istri simpanan.
b. Dampak bagi Anak
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, sehinga di mata hukum anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya tapi hanya dengan ibu dan keluarga dari ibunya saja ( pasal 42 dan pasal 43 tentang perkawinan tahun 1974 & pasal 100 KHI ). Di dalam akte kelahirannyapun status anak dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Hal tersebut jelas dapat mengakibatkan ketidak jelasan status anak di muka hukum, sehingga sewaktu-waktu si ayah akan menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
c. Dampak bagi ayah
Bagi suami yang menikah siri ini, cenderung mendapat keuntungan, sebab ia dapat bebas untuk menikah lagi karena pernikahan sirinya yang sebelumnya dianggap tidak sah di mata hukum, Ia juga dapat menghindar dari kewajibannya memberi nafkah untuk anak dan istrinya dari nikah siri tersebut, dan tidak pusing dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain. Meski sebagian memiliki keyakinan atau penyelesaian secara agama atau adat, namun tetap saja sebagai warga yang bernegara pihak yang dirugikan dalam nikah siri ini seperti pihak wanita yang menikah siri tidak memiliki kekuatan hukum bila terjadi sengketa perdata pada pernikahan sirinya tersebut.

Faktor – faktor yang menyebabkan pernikahan sirri dilakukan oleh beberapa masyarakat di Indonesia antara lain:
Faktor Kesadaran Hukum
Faktor Agama
Faktor Adat istiadat
Faktor Ekonomi
Ad.1. Kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan pernyataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk mencatatakan perkawinan atau pernikahan sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 2 (2) UU No. 1/1974. Pelanggaran tersebut memiliki banyak sekali hal yang menjadi alasan, misalnya seperti keinginan menikah yang kedua kalinya bagi seorang suami yang masih beristri, lebih patuh kepada adat sehingga menyepelekan hukum yang ditetapkan oleh negara, niat untuk pernikahannya tidak diketahui oleh pihak tertentu yang bersangkutan, dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, dan itupun karena beberapa faktor yaitu sumber daya manusia yang masih kurang ilmu pengetahuannya, pola berfikir dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.
Ad.2. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dengan demikian, perkawinan sering dilakukan secara aturan agama Islam oleh masyarakat yang beragama Islam. Sedangkan dalam syarat dan rukun nikah dalam ajaran Islam tidak dicantumkan secara spesifik mengenai keharusan pencatatan perkawinan / pernikahan. Sehingga beberapa orang yang beragama Islam tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA. Sebenarnya dalam agama Islam, pencatatan nikah itu, diharuskan karena pernikahan tersebut termasuk kegiatan mu’amalat seperti juga dalam kegiatan perjanjian utang piutang sebagaimana tecantum dalam surat Al Baqarah ayat 282, dan dalam hal ini, memang sudah seharusnya peraturan untuk pencatatan tersebut ditaati sebagaimana firman Allah yang berbunyi “taatilah Allah, taatilah Rasulullah dan pemimpinmu ( sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama )”. Namun, ada beberapa orang Islam yang tidak tahu mengenai hal ini, sehingga saat ini masih banyak yang melakukan pernikahan sirri.

Ad.3. Sebagaimana faktor agama yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor adat istiadat tidak jauh berbeda dengan faktor agama. Karena, dalam suatu adat istiadat itu, yang mana peraturan-peraturannya tidak tertulis dan diturunkan atau dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang, maka dalam hal perkawinan atau pernikahan seringkali dilaksanakan secara adat yang dianut di daerahnya. Dan dalam pernikahan itupun tidak ada syarat untuk melakukan pencatatan nikah, sehingga mereka tidak mencatatkan pernikahan ke Catatan Sipil.Tetapi dalam hal ini, tetap harus kembali pada kesadaran masyarakat sebagai masyarakat yang bernegara sehingga harus tetap tunduk patuh pada peraturan yang telah ditetapkan oleh negara.

Ad.4. Faktor Ekonomi juga dapat menjadi salah satu penyebab dilakukannya nikah sirri tapi tidak menjadi faktor utama. Alasannya adalah, jika suatu pasangan yang memang jelas memiliki niat baik untuk menikah tanpa didorong dengan niat-niat yang kurang baik, meskipun dalam hal ini mereka seorang yang tidak mampu atau miskin tapi ingin segera menikah, maka mereka akan lebih memikirkan hal yang terbaik untuk rumah tangga mereka kelak setelah pernikahan di antara mereka terjadi. Sebab, jika mereka tidak siap dengan pernikahan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenai biaya pernikahan yang sederhana saja untuk seperti mereka yang tidak mampu, dan ditambah dengan pengurusan akta nikah yang saat ini harganya kurang lebih empat ratus lima puluh ribu rupiah, maka dengan pertimbangan untuk menunda pernikahan sampai mampu untuk memenuhi semua itu demi kebaikan nasib pernikahan mereka sendiri adalah merupakan pertimbangan yang baik. Artinya, mereka yang tidak mampu, tetap dapat menahan niat mereka untuk menikah dan tidak melaksanakan pernikahan sirri. Dan itu semua pun kembali pada kesadaran dan pola pikir mereka masing-masing.

Nikah siri di Mata Hukum Indonesia
Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa nikah siri atau nikah bawah tangan adalah sah menurut ajaran agama Islam bila dilakukan sesuai syarat dan rukun nikahnya. Namun, di mata hukum Indonesia yang menghendaki pernikahan yang tidak hanya dilakukan nikah secara adat ataupun agama, tetapi juga dilakukan pencatatan. Sehingga bagi yang menikah siri tapi tidak melanjutkan dengan pencatatan, maka nikahnya dianggap tidak sah.

Dari semua pembahasan tersebut, terdapat satu contoh kasus nyata yang terjadi di jalan Patirana, desa Dadapan, kota Bondowoso yaitu sebuah pernikahan sirri yang terjadi 3 tahun yang lalu dengan alur peristiwanya adalah; “sebut saja nama pihak laki-laki adalah Jack dan pihak perempuan adalah Rose. Jack adalah seorang duda yang kemudian menyukai Rose yang juga sorang janda. Dari pertemuan mereka tersebut, kemudian tumbuh rasa cinta sehingga ada dorongan untuk melakukan perkawinan, dengan tujuan untuk menghindari zina dan gunjingan orang-orang, akhirnya mereka melakukan perkawinan sirri yang keduanya didampingi oleh keluarganya. Namun, pernikahan sirri merekapun berdampak negatif bagi kehidupan rumah tangganya. Sekitar satu setengah tahun sudah, rumah tangga mereka tidak harmonis, sampai si suami yaitu Jack, sudah tidak memperdulikan Rose lagi sebagai istrinya. Lalu Rose mengambil keputusan untuk bercerai dari Jack. Tapi, dalam hal ini Rose mengalami kesulitan karena pernikahannya tidak memiliki akta nikah. Kemudian, Rose mengajukan gugatan cerai terhadap Jack ke pengadilan agama serta memohon supaya diIstbatkan pernikahannya dengan Jack. Setelah itu, pernikahan mereka sebelumnya diperiksa dan dapat dibuktikan dengan jelas mengenai terjadinya pernikahan sirri tersebut dan proses perceraiannya berjalan sampai akhirnya mereka resmi bercerai secara hukum”.
Dengan adanya contoh peristiwa di atas, terbukti bahwa penyebab mereka nikah sirri yaitu karena faktor kepercayaan atau agama yang mereka anut, sehingga dalam hal ini, mereka yang tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang agama Islam, kemudian melaksanakan suatu pernikahan dengan tidak semestinya. Dan jalan keluar yang mereka tempuh akhirnya dengan jalan Itsbat nikah dan artinya mereka bercerai gara – gara pernikahannya yang mereka lakukan sebelumnya itu tidak membawa kebahagiaan dalam rumah tangganya, dan artinya juga pernikahan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan tujuan dilakukannya pernikahan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 1 / 1974 dan pasal 3 KHI.

















Solusi bilamana pernikahan sirri telah dilakukan
Bila nikah siri atau nikah bawah tangan telah dilakukan, maka solusi yang dapat ditempuh guna mencapai keabsahan pernikahan tersebut baik secara hukum adat atau hukum agama dan hukum yang berlaku di Indonesia adalah dapat melakukan Itsbat Nikah bagi yang beragama Islam dan melakukan perkawinan ulang ke KUA sedangkan bagi yang beragama non Islam dapat melakukan perkawinan ulang sesuai agama yang dianut kemudian dilakukan pencatatan ke Kantor Catatan Sipil. Keterangan lebih jelasnya adalah sebagai berikut :

1. Bagi yang beragama Islam
a. Mencatatkan perkawinan dengan Itsbat Nikah
Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, maka dapat mengajukan permohonan Itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Sebagaimana pasal 7 (3) huruf a KHI, Itsbat nika ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
- dalam rangka penyelesaian perceraian
- hilangnya akta nikah
- adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
- perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan
- perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai hanlangan perkawinan menurut UU no. 1/1974.
Untuk perkawinan siri, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian, sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya memiliki akta nikah dari pejabat berwenang. Bila ada salah satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, maka segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan agama. Tetapi jika terdapat satupun alasan yang lima tersebut, maka akan menjadi sulit.
Setelah itu, dapat mengurus akta kelahiran anak ke pencatatan sipil. Jika masa pengurusan akta kelahiran anak lewat dari 14 hari dari hari yang telah ditentukan, maka terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak ke PN setempat. Dengan demikian status anak bukan lagi anak di luar nikah.
b. Melakukan Pernikahan Ulang
Usaha ini, dilakukan sebagaimana perkawinan menurut Ajaran Agama Islam yang kemudian disertai dengan pencatatan ke KUA. Pencatatan perkawinan penting agar ada kejelasan status bagi suatu perkawinan. Status anak yang lahir dalam perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar nikah (perkawinan ulang tidak berlaku surut tehadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan) namun jika anak tersebut lahir setelah perkawinan ulang dilangsungkan maka anak tertsebut statusnya sah. Sehingga bagi anak yang lahir sebelum dilakukan perkawinan ulang harus di lakukan pencatatan ke pencatatan sipil atau PN setempat.

2. Bagi yang non Islam
Perkawinan Ulang dan Pencatatan Perkawinan
Perkawinan ulang dapat dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut, dan setelah itu maka dilakukan pencatatan ke kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu maka dapat digugat ke PTUN.
Mengenai pengakuan anak, jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun berdasarkan pasal 43 UU no.1/1974 yang intinya menyatakan bahwa anak lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun pengakuan anak hanya dapat dalakukan dengan persetujuan Ibu, sebagaimana di atur dalam pasal 284 KUH Perdata. Kemudian, apabila telah dilakukan pengakuan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya sebagaimana pasal 280 KUHPerdt.
Namun, pengakuan atas anak ini, tidak dapat dilakukan oleh anak yang masih berusia di bawah 19 tahun, tapi untuk perempuan dapat melakukan pengakuan anak meski belum genap sembilan belas tahun. Dan pengakuan anak tersebut bukan dilakukan dengan paksaan, bujuk rayu, tipu dan khilaf sebagaimana pasal 282 KUHPerdt. Dan pengakuan anak tidak akan tercapai jika si Ibu tidak menyetujuinya ( pasal 284 KUHPerdt ).

























KESIMPULAN
Dengan telah dibuatnya pembahasan mengenai perkawinan sirri ini, maka dalam hal ini dapat ditarik suatu beberapa kesimpulan, antara lain :
- pernikahan sirri yang dilakukan oleh beberapa masyarakat saat ini, merupakan pernikahan yang tidak sah di mata hukum yang berlaku di Indonesia, karena hal tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
- Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan terjadinya pernikahan sirri tersebut yaitu faktor kesadaran masyarakat, faktor agama, faktor adat istiadat, faktor ekonomi.
- Suatu pernikahan sirri yang telah terjadi, dimungkinkan hanya dapat diselesaikan dengan melakukan pernikahan ulang dan apabila pernikahan tersebut ingin diakhiri maka dapat dilakukan Istbat Nikah bagi yang beragama Islam sedangkan bagi yang non Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan ke catatan sipil.
SARAN
Suatu pernikahan sirri yang dilakukan oleh beberapa pasangan menikah di Indonesia ini, dapat disebabkan oleh banyak alasan. Sehingga sangat perlu sosialiasi kepada masyarakat mengenai pernikahan yang benar menurut agama, adat dan benar serta sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. Sebab tiap masyarakat harus tetap tunduk patuh terhadap tata peraturan yang telah ditetapkan. Jika masyarakat tidak taat hukum, maka banyak hal yang dapat merugikan bagi dirinya sendiri maupun orang lain yang bersangkutan seperti halnya praktek nikah siri ini, yaitu suatu pernikahan yang memberikan dampak negatif bagi istri utamanya dan anak hasil dari pernikahan siri tersebut. Sehingga bukanya kebahagaiaan yang akan mereka raih namun, kesengsaraan dan kesulitan serta konflik yang berkepanjangan yang akan mereka hadapi akibat nikah sirri. Maka dari itu, alangkah baiknya jika segala tata peraturan yang berlaku itu dipatuhi oleh setiap warga negara Indonesia khususnya dalam hal ini, bagi mereka yang melaksanakan pernikahan supaya mencatatkan pernikahan mereka ke KUA atau Catatan Sipil.

Naskah Gugatan

Perihal : GUGATAN CERAI, NAFKAH dan Bondowoso, 21 Mei 2009
HARTA DALAM PERKAWINAN

Kepada Yang terhormat,
Ketua Pengadilan Agama Bondowoso,
Di –
B O N D O W O S O.

Assalamu’alaikum War. Wab.
Mohon dipermaklim dengan segala hormat,
----------------------------------------ROFIDAH binti MAHDAR----------------------------------
Umum 24 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah tangga, Bertempat tinggal di Dukuh Kecek Desa Lojajar, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso ; Yang dalam hal ini mohon disebut sebagai PENGGUGAT ;

Untuk itu perkenankanlah Saya mengajukan Permohonan/Gugatan Cerai Melalui Pengadilan Agama Bondowoso, hal mana Gugatan Cerai ini di tujukan Kepada MULYADI bin AJIB, Umur 36 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Dagang, Beralamatkan di Desa Wonosari, Kecamatan Grujukan, Kabupaten Bondowoso, Dalam hal ini tersebut mohon disebut sebagai TERGUGAT.

Sehubungan dengan hal di atas perkenankanlah Saya selaku Penggugat mengajukan Gugatan Cerai yang di dalamnya melekat tentang Nafkah dan Hak Pemeliharaan anak serta Harta dalam perkawinan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam perkara ini, kepada Tergugat tersebut dengan alasan dan dasar – dasar sebagai mana diuraikan secara tertulis di bawah ini sebagai berikut :

Bahwa Penggugat telah menikah dengan Tergugat sebagai suami istri yang sah, terdaftar di KUA ( Kantor Urusan Agama ) Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso sesuai buku Kutipan akta Nikah Nomor : 315/24/XII/2004 tertanggal 10 Desember 2004 M, bertepatan dengan 27 Syawal 1425 H.
Bahwa Semula Penggugat dengan Tergugat telah hidup rukun dan bertempat tinggal di Dukuh Kecek Desa Lojajar, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso dan telah dikaruniai seorang anak yang bernama AHMAD FATAHILLAH yang saat ini telah berumur 3,5 tahun ( + 42 bulan ) ;
Bahwa semenjak Penggugat hamil muda ( mengandung anak yang bernama Ahmad Fatahillah tsb.) sekitar bulan juni 2005, kehidupan Penggugat dan Tergugat bertempat tinggal atau beralamat di rumah pihak orang tua Tergugat tepatnya Menempati Dapur Rumah Orang Tua Pihak Tergugat di Desa Wonosari, Kecamatan Grujukan Kabupaten Bondowoso;
Bahwa Rumah tangga Penggugat dengan Tergugat Mulai Goyah dan Retak adalah sejak adanyanya acara Imtihan dan Pengajian di Rumah orang tua Penggugat di Dukuh Kecek Desa Lojajar, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, tepatnya pada tanggal 20 agustus 2008, yang pada saat itu Pengugat dengan anaknya yang bernama Ahmad Fatahillah telah diantarkan oleh Tergugat ke rumah orang tuanya tersebut diatas dan pada malam pelaksanaan Pengajian tersebut tepatnya pada saat KH. Bagyan dari “Daglekor” Sukowono Jember Sedang berceramah TENTANG BERMACAM-MACAM SIFAT ATAU WATAK BAIK DAN BURUK MANUSIA, tahu-tahu Tergugat Menangis tersedu-sedu dan ditanya oleh Penggugat dengan berbahasa Madura “ARAPAH MA’ NANGIS KA’?” yang kemubdian dijawab oleh Tergugat dengan bahasa Madura juga “SENGKO’ TERSINGGUNG KABANTANAH KIYAEH BAGYAN AROWAH, MASTEH BADAH SENYORO ABANTA ENGA’ AROWAH, BAN SALASETTONGAH SENYORO MASTEH TARETANNAH BA’NAH”, yang artinya “SAYA TERSINGGUNG PADA CERAMAHNYA KIYAI BAGYAN ITU, TENTU ADA YANG MENYURUH BERBICARA SEPERTI ITU DAN SALAH SATUNYA YANG MENTURUH TENTU SAUDARAMU” dan Penggugat melarang Tergugat punya prasangka tidak baik seperti itu, namun justru keesokan harinya tanggal 21 Agustus 2008 Tergugat malah meninggalkan Penggugat dan Anak Ahmad Fatahillah di rumah orang tua Penggugat tesebut;
Bahwa berselang 3 (tiga) hari kemudian tepatnya pada hari minggu tanggal 24 Agustus 2008 Tergugat datang dan langsung mencari ibu dan kakak-kaka Penggugat ke belakang rumah orang tua Penggugat dan dalam keadaan berdiri dekat pintu belakang Tergugat menyerahkan kembali Saya (Penggugat) kepada Ibu dan kakak-kaka Saya ( Penggugat ) dengan berbahasa Madura Tergugat mengatakan “ Kaulah datang samangken pera’ nyerra’agiah pole Rofidah da’ sampian ban molaen mangken Rofidah pengga’ nikahna bi’ kauleh” yang artinya “ SAYA DATANG SEKARANG HANYA MAU MENYERAJKAN KEMBALI ROFIDAH KEPADA SAMPIAN, DAN MULAI SAAT INI PUTUS NIKAHNYA DENGAN SAYA” Yang dalam hal ini BIS SYAR’I atau secara Hukum Islam telah jatuh Talaq tersebut dan perbuatan Tergugat adalah benar-benar telah melampaui batas dan sangatlah menyinggung perasaan serta merendahkan martabat keluarga Penggugat Utamanya Perasaan dan martabat Penggugat terasa terhina atas perbuatan Tergugat tersebut, oleh karenanya pecahlah dan hancur berantakan pernikahan Penggugat dengan Tergugat tersebut hingga dapat diselamatkan lagi, karenanya Penggugat mengajukan Gugatan Cerai ini;
Bahwa kemudian tepatnya pada hari Minggu malam Senin tanggal 5 Oktober 2008 sekitar di atas jam 21.00 WIB. Tertugat datang bersama Sujono seorang temannya di rumah orang tua Penggugat dan bertemu ibu Penggugat yang sedang menggendong anak ahmad Fatahillah tsb. Lalu Tergugat mengambil anak Ahmad Fatahillah dalam gendongan Ibu Penggugat tsb. dan dibawa lari oleh Tergugat ke luar rumah sehingga terjadilah keributan, karena perbuatan Tergugat itu dihadang oleh Ibu Penggugat sehingga Ibu Penggugat Jatuh karena didorong oleh Tergugat dan saat itu Ibu Tergugat berteriak minta tolong dan terjadilah kekerasan saat itu dan mengakibatkan terhukumnya 6 (enam ) orang keluarga pihak penggugat tersebut di penjara karena ulah perbuatan Tergugat tersebut, sehingga semakin tersinggung dan resah keluarga Pihak Penggugat utamanya Penggugat, sehingga sangat tidak mungkin hubungan suami istri Penggugat dengan Tergugat tersebut untuk disambung kembali, Vide pasal 116 huruf (f). Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu patutlah kiranya Gugatan Cerai Penggugat diterima dan dikabulkan Sepenuhnya demi hukum.
Bahwa oleh karena Termohon telah meninggalkan dan tidak memperdulikan pemohon + 9 (sembilan ) bulan lamanya terhitung sejak tanggal 24 Agustus 2008 tanpa nafkah lahir dan batin Hingga diajukan Gugatan Cerai Penggugat ini, maka menurut hukum Tergugat telah melanggar Sighat Taklik yang tertera dalam Kutipan Akta Nikah nomor 315/24/XII/2004 tanggal 10 Desember 2004 M yang telah ditandatangani oleh Termohon Vide pasal 116 huruf (g) Kompilasi hukum Islam, maka sangatlah patut Gugatan Cerai Penggugat diterima dan dikabulkan sepenuhnya demi Hukum.
Bahwa sehubungan dengan hak asuh atau pemeliharaan anak yang bernama AHMAD FATAHILLAH yang masih berumur 3,5 tahun (42) bulan dimohon tetap dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat selaku Ibu kandungnya, vide pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam dan kerenanya Permohonan/Gugatan Penggugat ini haruslah diterima dan dikabulkan sepenuhnya demi hukum.
Bahwa sehubungan dengan hal biaya pemeliharaan Anak Ahmad Fatahillah tersebut adalah tetap menjadi tanggung jawab Ayahnya (Termohon tsb.) vide pasal 105 huruf (c.) Kompilasi Hukum Islam, maka oleh karenanya Penggugat mewakili anak Ahmad Fatahillah dalam hal ini mohon agar nilai nominal biaya pemeliharaan untuk Ahmad Fatahillah tersbut tidak kurang dari Rp. 7.500,- setiap hari ditambah biaya kesehatan anak sebesar Rp. 2.500,-, per hari yang dihitung dari selama ditinggalkan yaitu sejak tanggal 24 Agustus 2008 setidaknya sampai dengan tanggal diajukannya Gugatan ini, yaitu tanggal 21 Mei 2009 adalah sama dengan 270 hari, jadi sama dengan Rp. 10.000,- per hari X 270 hari = Rp. 2.700.000,- ( Dua juta tujuh ratus ribu rupiah )yang harus dibayar tunai setelah dipotong yang telah dibayar oleh Tergugat dengan perincian sebagai berikut :
a. 10 september 2008, Tergugat mengirim sendiri sebesar Rp. 180.000,-
b. .....Oktober 2008, Tergugat tidak mengirim Nafkah Anak -----------------
c. 26 Nopember 2008, Tergugat mengirim Via Pos sebesar Rp. 75.000,-
d. 24 Desember 2008, Tergugat mengirim Via Pos sebesar Rp. 70.000,-
e. 24 Januari 2009, Tergugat mengirim Via Pos sebesar Rp. 70.000,-
f. 17 Pebruari 2009, Tergugat mengirim Via Pos sebesar Rp. 100.000,-
g. 17 Maret 2009, Tergugat mengirim Via Pak Hos sebesar Rp. 110.000,-
h. 21 april 2009, Tergugat mengirim Via Pak Taha sebesar Rp. 100.000,-
i. 19 Mei 2009, Tergugat Mengirim Via Pos sebesar Rp. 100.000,-
Jumlah nafkah anak yang telah dibayar Tergugat sebesar Rp. 805.000,-
Sisa yang harus dibayar sebesar Rp. 2.700.000 – 805.000= Rp. 1.895.000,- ( satu juta delapan ratus sembilan puluh lima ribu rupiah ) Tunai, oleh Tergugat kepada Penggugat sebagai nafkah pemeliharaan anak tersebut, dan hal ini dapat dihitung hingga sebagai nafkah pemeliharaan anak tersebut, dan hal ini dapat dihitung hingga diputusnya perkara ini, dan oleh karena permohonan nafkah anak ini berdasrkan hukum maka haruslah diterima dan dikabulkan sepenuhnya demi hukum.
Bahwa sehubungan dengan nafkah pemeliharaan anak ahmad Fatahillah selanjutnya –hingga berumur 12, Mohon berkenan ditetapkan sebesar Rp. 10.000,- per hari yang dibayar setiap bulan sekali yaitu Rp. 10.000,- per hari X 30 hari = Rp. 300.000,- per bulan oleh Tergugat kepada Penggugat, berdasarkan pasal 105 huruf (a.) Kompilasi Hukum Islam yang harus dibayar secara konsisten, maka oleh karenanya permohonan Penggugat haruslah diterima dan dikabulkan sepenuhnya demi hukum.
Bahwa tergugat dalam hal ini masih mempunyai kewajiban nafkah kepada Penggugat yang harus dibayar menurut hukum selama Tergugat meningalkan Penggugat yaitu sejak tanggal 24 agustus 2008 sampai dengan diajukannya gugatan Cerai Penggugat tanggal 21 Mei 2009 yaitu sama dengan 270 hari, yang dalam hal ini Penggugat Mohon nafkah lahir sebesar Rp. 10.000,- per hari X 270 hari = Rp. 2.700.000,- ( Dua juta tujuh ratus ribu rupiah ) yang harus dibayar Tunai, dan hal ini dapat dihitung sampai dengan diputusnya perkara ini, dan oleh karena permohonan pemenuhan nafkah lahir ini adalah berdasarkan hukum maka haruslah diterima dan dikabulkan sepenuhnya demi hukum.
Bahwa dalam hal ini Tergugat Cerai juga harus membayar Nafkah batin yang dalam hal ini tidak dapat dinalai dengan nominal uang, namun hal ini bagi Penggugat tidaklah kurang dari Rp. 10.000.000,-(sepuluh Juta rupiah) yang harus dibayar Tunai kepada Penggugat dami hukum.
Bahwa selain hal tersbut di atas Penggugat juga mohon pemenuhan Nafkah Iddah selama 100 hari X Rp. 10.000,- per hari = Rp. 1.000.000,- ( satu juta rupiah ) yang harus dibayar Tunai kepada Penggugat demi hukum.
Bahwa oleh karena Penggugat dengan Tergugat semasa hidup rukun dahulu dan atau setidak-tidaknya pada sebelum peristiwa yang tesebut pada bahwa nomor 4,5,6 dan 7 tersebut di atas terjadi, Masih belum mempunyai rumah tempat tinggal sendiri, Maka Penggugat dengan Tergugat telah merencanakan akan membuata Rumah di Dukuh Kecek, Desa Lojajar Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso tepatnya di Rumah Pihak Penggugat dan dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dapat mengumpulkan bahan bangunan yang antara lain berupa : -
a. Batu bata sebanyak 10.000 buah bata = Rp. 2.500.000,-
barang tersebut berada pada pihak penggugat.
b. Genteng sebanyak 5.000 lembar genteng = Rp. 2.500.000,-
barang tersebut berada pada pihak Penggugat
c. Kayu Bahan rumah Lengkap Ukuran 8cm x 12cm, Kusen-kusen, Usuk-usuk dan
reng-reng seluruhnya tidak kurang dari sebesar = Rp. 10.000.000,-
barang tersebut berada pada pihak Tergugat.
Sehingga dalam hal ini dan atau harta yang diperoleh dalam perkawinan seperti yang tersebut pada bahwa nomor 14.a. dan 14.b. serta 14.c. tersebut di atas, dapat dinilai dalam bentuk nominal uang adalah berjumlah sebesar Rp. 15.000.000,- Mohon disebut sebagai harta ersama dalam perkawinan Penggugat dengan Tergugat yang sah, yang menurut hukum harus dibagikan Kepada Penggugat dengan Tergugat masing-masing ½ bagian dari Rp. 15.000.000 X ½ = Rp. 7.500.000,- dan dapat dibagikan dalam bentuk barang dengan porsi yang adil yaitu barang yang telah berada dalam penguasaan Penggugat seperti yang tersebut bahwa nomor 14.a. dan 14.b. senilai Rp. 5.000.000,- tsb. ditetapkan sebagai bagian dan hak sah Penggugat dan arang seperti yang ersbut pada bahwa nomor 14.c. tersebut di atas senilai Rp. 10.000.000,- tersebut di atas menjadi bagian dan Hak sah tergugat, vide pasal 97 Kompilasi Hukum Islam ;
Bahwa tergugat dalam berumahtangga dengan Penggugat telah membawa perabot rumah tangga yang dalam bahasa madura disebut “PAMOGIH” al. sbb :
a. Almari baju satu pintu terbuat dari kayu sebanyak 1 (satu) buah.
b. Almari grabah satu pintu terbuat dari kayu sebanyak 1 (satu) buah
c. Piring beling sebanyak 4 (empat) Dosen
d. Cangkie sebanyak 4 (empat) Dosen
e. Sendok sebanyak 4 (empat) Dosen
f. Gelas sebanyak 4 (empat) Dosen
g. Panci Doreng 1 (satu) set isi 3 buah
h. Panci Susun 1 (satu) set isi 4 buah
i. Tenong 2 (dua) buah
j. Nampan Krum 1 (satu) buah
k. Toples kaca 4 (empat) buah
l. Meja kursi tamu dari kayu dan busa 1 (satu) setel.
m. Dipan tempan tidur lengkap kasur dan bantal guling 1 (satu) set.
Oleh karena dalam hal ini Penggugat dengan Tergugat telah mempunyai Anak ahmad atahillah tersebut maka Penggugat mohon ditetapkan sebagai barang – barang yang diperuntukkan dan atau diberikan kepada Anak Tergugat dan Penggugat tsb. Yang berada dalam lindungan dan Pemeliharaan Penggugat demi hukum, oleh karenanya permohonan ini haruslah diterima dan dikabulkan sepenuhnya.

Maka berdasarkan uraian Gugatan Penggugat tersebut di atas yang telah berdasar hukum, Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Bondowoso dan atau Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini agar berkenan memutuskan :

Menerima dan mengabulkan Gugatan penggugat sepenuhnya.
Menyatakan demi hukum menceraikan hubungan suami istri antara Penggugat dengan Tergugat.
Menyatakan demi hukum Hak Pemeliharaan anak Ahmad Fatahillah adalah dalam pemeliharaan Penggugat.
Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah Pemeliharaan anak Ahmad Fatahillah yang belum lunas selama 270 hari ditinggalkan dengan perincian Rp. 10.000,- per hari X 270 hari = Rp. 2.700.000 – yang telah terbayar sebesar Rp. 805.000 = Rp. 1.895.000,- ( Satu juta delapan ratus sembilan puluh lima ribu rupiah ) yang harus dibayar secara tunai kepada Penggugat Untuk anak Fatahillah demi hukum.
Menghukum tergugat untuk membayar Nafkah Pemeliharaan Anak Ahmad Fatahillah selanjutnya dalam setiap bulan sebsar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) yang dibayarkan setiap bulan kepada Penggugat sebagai Pemeliharaan, hingga anak ahmad Fatahillah berumur 12 tahun demi hukum.
Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah lahir selama meninggalkan Penggugat 270 hari X Rp. 10.000,- per hari = Rp. 2.700.000,- ( dua juta tujuh ratus ribu rupiah) dibayar Tunai kepada Penggugat demi hukum.
Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah batin selama meninggalkan Penggugat 270 hari sebesar p. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah ) dibayar tunai kepada Penggugat demi hukum.
menghukum Tergugat untuk membayar nafkah Iddah selama 100 hari X Rp. 10.000,- per hari = p. 1.000.000,- ( Satu juta rupiah ) dibayar tunai kepada Penggugat demi hukum.
Menyatakan demi hukum bahwa barang yang berupa a). Batu bata 10.000 buah dan b). Genteng Pres 5.000 lembar yang berada di dalam penguasaan Penggugat di Dukuh Kecik, desa Lojajar, Kecamatan Tenggarang, Kabupaten Bondowoso, serta c). Kayu-kayu ukuran 8 cm x 12 cm, Kusen, Usuk dan reng yang berada dalam penguasaan Tergugat di desa Wonosari, Kecamatan Grujukan, Kabupaten Bondowoso, adalah sah sebagai Harta Kekayaan dalam Perkawinan yag masing-masing mendapatkan ½ bagian.
Menyatakan demi hukum Pembagian harta dalam Perkawinan bahwa barang yang berupa a). Batu bata 10.000 buah dan b). Genteng Pres 5.000 lembar yang berada dalam Penguasaan Penggugat adalah diettapkan sebagai bagian dan menjadi hak sah Penggugat selanjutnya barang yang berupa c). Kayu-kayu ukuran 8 cm x 12 cm, kusen, usuk dan reng, yang berada dalam Penguasaan Tergugat adalah ditetapkan sebagain bagian dan menjadi hak sah Tergugat.
Menyatakan demi hukum bahwa barang bawaan pihak Tergugat yang berada di rumah pihak Penggugat yaitu berupa :
a) Almari baju satu pintu terbuat dari kayu sebanyak 1 (satu) buah.
b) Almari grabah satu pintu terbuat dari kayu sebanyak 1 (satu) buah
c) Piring beling sebanyak 4 (empat) Dosen
d) Cangkie sebanyak 4 (empat) Dosen
e) Sendok sebanyak 4 (empat) Dosen
f) Gelas sebanyak 4 (empat) Dosen
g) Panci Doreng 1 (satu) set isi 3 buah
h) Panci Susun 1 (satu) set isi 4 buah
i) Tenong 2 (dua) buah
j) Nampan Krum 1 (satu) buah
k) Toples kaca 4 (empat) buah
l) Meja kursi tamu dari kayu dan busa 1 (satu) setel
adalah menjadi hak anak Ahmad Fatahillah di bawah perlindungan dan pemeliharan Penggugat.
Membebankan biaya perkara yang timbul oleh karenanya menurut hukum yang berlaku.

Namun apa bila Pengadilan Agama Bondowoso dan atau majelis hakim pemeriksa perkara ini berpendapat lain, Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya dalam persidangan yang adil dan tiada memihak.


Wassalamu/alaikum War.Wab.
Hormat Saya
Pengguat tersebut.



ROFIDAH binti MAHDAR